Sabtu, 13 November 2010

SEJARAH BUNGORO (PANGKEP)


Bungoro adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kepulauan Pangkajene, Sulawesi Selatan, Indonesia. Luasnya mencapai 90,12 km2 atau 8,10 % dari luas wilayah Kabupaten Pangkep secara keseluruhan. Untuk mencapai kecamatan ini dapat ditempuh 2 km dari ibukota kabupaten, Pangkajene.
Sejarah awal
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Bungoro merupakan salah satu wilayah adatgemeenschap di Pangkep, selain Pangkajene, Balocci, Labakkang, Ma’rang, Segeri dan Mandalle. Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon / tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate anak Karaeng Gowa yang diutus oleh Gowa untuk memerintah di daerah ini. Karena itu, Kalumpang diganti namanya menjadi Bungoro, yang juga nama lain dari pohon tersebut. (Makkulau, 2008).
Versi lain dari Asal Muasal nama ”Bungoro” yang penulis dapatkan adalah cerita tentang kedatangan Belanda untuk pertama kali di daerah Bungoro sekarang, kemudian sambil menunjuk ke bawah menanyakan nama daerah baru yang didatanginya tersebut. Penduduk yang berpenutur Bahasa Bugis malahan menganggap bahwa yang ditanyakan itu adalah sebuah sumur yang berada tidak jauh dari tempat berdiri dan menunjuk sang Belanda itu. Jadi penduduk itu menjawabnya, “Bungung ro” (Bugis : sumur itu). Oleh Belanda, dianggaplah nama daerah itu ”Bungonro”, yang kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan menjadi “Bungoro”.
Sejarah Bungoro
Sejarah Kekaraengan Bungoro
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang Karaeng dan didampingi oleh 18 kepala kampung, seorang diantaranya bergelar Loho, seorang bergelar Jennang, tujuh orang bergelar Lo’mo dan delapan orang yang bergelar Matowa . Ornamentnya (arajangnya) terdiri dari selembar bendera yang dinamai Cinde, yang kemunculannya dianggap dari langit lalu turun ke sebuah bukit yang bernama Cinde. Pusaka kekaraengan Bungoro lainnya adalah sebilah sonri (kelewang) dan tombak yang dinamai Masolo.(Makkulau, 2008).
Sebagaimana halnya dengan Barasa (Pangkajene) dalam permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Gowa. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Dalam tahun 1824 semasa pemerintahan La Palowong Daeng Pasampo di Bungoro, sebahagian dari kekaraengan ini ditempatkan dibawah pemerintahan Daeng Sidjalling, saudara dari La Palowong Daeng Pasampo. Bahagian yang dikuasai dan diperintah oleh Daeng Sidjalling itu dinamai “Tala’ju” atau “Bungoro Riwawo”, yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue’, Lampangang, Campagayya dan Landea. (Makkulau, 2008).
Sewaktu regent (Karaeng) Bungoro yang bernama La Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama La Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil. Oleh karenanya, Kepala Regent Labakkang yang bernama La Mannaggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. (Makkulau, 2008). Dalam Tahun 1893, La Pabbicara Daeng Manimbangi tersebut diangkat menjadi Kepala Regent Bungoro. Dalam tahun 1906 kepala regent ini diasingkan ke Padang (Sumatera Barat) oleh Belanda karena dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketenteraman di Sulawesi Selatan berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 16 Februari 1906 No. 26. Olehnya itu menurut Surat Penetapan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1906 No. 34 (Stbl No. 309), Keregent-nan Bungoro dihapuskan dan digabungkan pada Keregentnan Pangkajene. (Makkulau, 2008).
Dalam Tahun 1918 Bungoro dikembalikan menjadi Kekaraengan tersendiri menurut Surat Penetapan Gubernur Celebes dan daerah – daerah takluknya tertanggal 1 Mei 1918 No. 86 / XIX sambil menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat Hindia Belanda. Pada masa itu yang menjadi Karaeng Bungoro adalah La Tambi, kemudian beliau digantikan oleh La DolohaE Daeng Palallo. Selanjutnya La Dolohae Dg Palallo digantikan oleh Andi Mustari yang juga merupakan Camat pertama di Bungoro. (Makkulau, 2008).

Jumat, 12 November 2010

ASAL MUASAL KABUPATEN MAROS


Toddo Limayya (Asal Muasal Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan)
Pada awalnya, didaerah Maros hanya terdapat sebuah kerajaan yg cukup besar bernama Kerajaan Marusu dengan batas batas meliputi: bagian selatan berbatasan dgn kerajaan Gowa/Tallo,bagian utara berbatasan dengan Binanga Sangkara’ ( batas kerajaan Siang),bagian timur berbatsan dengan daerah pegunungan ( Lebbo’ Tangngae )dan pada bagian baratnya berbatasan dengan Tallang Battanga ( Selat Makassar ).
Kerajaan Marusu pada waktu itu,hidup berdampingan dengan damai dgn kerajaan kerajaan tetangga ,seperti Gowa, Bone,luwu dll.keadaan tersebut, berlangsung terus menerus hingga masuknya intervensi Kompeni Belanda.seiring kekalahan kerajaan Gowa/Tallo dibawah pemerintahan I Mallombassi Dg Mattawang Karaeng Bonto Mangngape’ atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin oleh Kompeni Belanda dibawah pimpinan Admiral Speelman.
Dimana ,atas kekalahannya tersebut Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani suatu perjanjian perdamaian pada tgl 18 November 1667 yg dinamakan ” Cappaya ri Bungaya ” atau ” Perjanjian Bungaya “.yg terdiri atas beberapa pasal, dan salah satunya mengatakan ” bahwa negeri negeri yg telah ditaklukan oleh kompeni dan sekutunya ,harus menjadi tanah milik kompeni sebagai hak penaklukan “.
Oleh karena itu, kerajaan marusu yg merupakan sekutu dr gowa yg berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Bakke,Arung appanang dan arung bila atas nama arung palakka yg merupakan sekutu dari kompeni,lmbat laun mulai dikuasai oleh kompeni belanda.
Puncaknya terjadi pd awal tahun 1700,tepatnya pd masa pemerintahan Kare Yunusu sultan Muhammad Yunus Karaeng Marusu VII. dimana pd masa pemerintahan beliau,marusu tdk lagi menjadi suatu kerajaan yg besar, sebab oleh belanda ,marusu menjadi daerah jajahan dalam bentuk ” regentschap”dimana raja marusu hanyalah merupakan raja tanpa mahkota( onttrondevorsteen)
artinya”walaupun raja raja marusu berhak mengatur pemerintahannya sendiri dan diangkat sesuai garis keturunan dan secara adat marusu, namun pengankatan raja raja itu harus mendapat persetujuan dr pihak belanda.selain itu , kerajaan marusu yg tadinya cukup luas kini menjadi kerajaan kecil dgn tersisa 36 kampung yg mnejadi kekuasannya.dan pada bekas2 wilayahnya itu berdiri beberapa kerajaan kecil, seperti : kerajaan Bontoa,tanralili,turikale,simbang,raya dan lau’.
Melihat keadaan yg demikian Kare yunusu lalu menyerahkan tahta kepada La mamma dg marewa diwettae mattinroe ri samanggi yg merupakan keturunan dari I maemuna dala marusu adik kandung dari karaengta barasa sultan muhammad ali raja marusu VI ayahanda beliau yg diperisterikan oleh La patau matanna tikka sultan alimuddin idris raja bone mattinroe ri nagauleng.
Di masa pemerintahan La mamma dg marewa ini,beliau berusaha mengajak raja raja tetangga yg baru berdiri itu,untuk membentuk suatu wadah persatuan guna bersama sama saling bahu membahu dalam segala hal,terutama dalam rangka mengantisipasi segala macam gangguan / intervensi dari pihak pihak lain ,terutama dari pihak belanda.
Pada awalnya ,ajakan dari La mamma dg marewa ini ,ditolak oleh raja2 tetangga,karena menganggap itu adalah akal akalan La mamma saja untuk menghuasai kembali wilayah marusu yg sudah terpecah pecah itu.namun,berkat diplomasi yg baik .akhirnya terbentuklah suatu wadah persatua yg bernama ” TODDO LIMAYYA RI MARUSU ” ( persatuan adat lima kerajaan ). ,terdiri atas; marusu,simbang,bontoa,tanralili,turikale,dan raya.
1.KERAJAAN MARUSU
Berdiri pada sekitar abad ke 15 oleh seorang raja yg diyakini sebagai seorang tumanurung bergelar ” karaeng loe ri pakere “.
Berdasarkan lontara patturioloanna tu marusuka ,beliau ini tidak mempunyai keturunan dan nama isterinya juga tdk diketahui,namun dlm lontara tersebut menyebutkan ,bahwa beliau mempunyai seorang putri angkat yg juga merupakan seorang tumanurung bergelar tumanurunga ri pasandang.yg lalu dikawinkan dengan seoarang timanurung dari daerah luwu bergelar” tumanurung ri asa’ang.dan melahirkan seorang putra yg bernama i sangaji ga’dong yg setelah dewasa naik tahta menjadi karaeng marusu II menggantikan karaeng loe ri pakere.
ketika karaeng tumapa’risika kallonna raja gowa IX yg memerintah sekitar tahun 1510-1546melakukan eksvansi perluasan wilayah dgn menyerang dan menguasai negeri negeri sekitarnya, kerajaan marusupun tak luput dari serangan tersebut.namun, dalam serangan pertama tersebutberhasil di bendung oleh laskar laskar kerajaan marusu sehingga laskar laskar gowa harus pulang dgn tangan hampa.tetapi,pada serangan berikutnya laskar laskar marusu kesulitan untuk membendungnya yg mana pada akhirnya terjadi traktat persahabatan antara karaeng loe ri pakere raja marusu I dgn karaeng tumapa’risi kallonna raja gowa IX.dan semnjak saat itulah marusu menjadi sekutu dan sahabat dari kerajaan gowa.
Namun,pada masa pemerintahan i mappasomba dg nguraga karaeng patanna langkana tumenanga ribuluduayya raja marusu IV,kerajaan marusu justru mengangkat senjata melawan kerajaan gowa.ini dikarenakan ipar beliau I mangngayoang berang karaeng pasi raja tallo III yg memperisterikan adik beliau I pasilemba tu mammalianga ri tallo berperang melawan gowa. sehingga atas dasar kekeluargaan I mappasomba dg nguraga terpaksa berdiri dipihak tallo.yg mana pada akhirnya peperangan ini berakhir dgn damai yg melahirkan suatu sumpah mengatakan ” iya iyanamo ampasiewai gowa na tallo iyamo ricalla dewata ” artinya ” barang siapa yg memperselisihkan gowa dan tallo akan dikutuk oleh yg maha pencipta ”
Semenjak saat itu tiada lagi peperangan antara gowa dan tallo ,bahkan timbul tradisi raja raja gowa menjadi raja di gowa dan raja raja tallo menjadi tumabbicara butta ri gowa ( mangkubumi ) .sedangkan kerajaan marusu tetap menjadi sekutu dan sahabat dr gowa yg senantiasa membantu gowa dalam setiap eksvansi perluasan wilayah yg dilakukan oleh kerajaan gowa.
2.KERAJAAN TANRALILI
Tanralili berasal dari kata ” tenri dan lili ” yg berarti tk dapat ditundukkan, dikatakan demikian karena daerah ini terkenal akan wataknya yg keras dan pemberani.
Didirikan pertama kali oleh bangsawan bone bernama la mappaware dg ngirate batara tanralili bulu’ ara’na bulu YG MERUPAKAN KETURUNAN DARI lA PATAU MATANNA TIKKA SULTAN ALIMUDDIN IDRIS MATTINROE RI NAGA ULENG RAJA BONE XVI. pada sekitar tahun 1700.
3.KERAJAAN TURIKALE
Berdiri pd sekitar tahn 1700 oleh I mappiare dg mangngiri putra raja gowa / tallo i mappau’rangi karaeng boddia sultan sirajuddin.
dikatakan turikale ( orang dekat/kerabat dekat )sebab,bangswan yg pertama kali membuka derah ini adalah putra raja gowa sendiri.
Namun pendapat kedua mengatakan , behwa penamaan turikale, dikarenakan raja raja yg memerintah di turikale mejalin hubungan yg dekat dengan pihak belanda, namun pendapat ini banyak mendapat tentangan, sebab tdk semua raja raja turikale yg menjalin hubungan yg dekat dgn belanda.bhkan banyak diantanya yg sangat anti terhadap belanda.
4.KERAJAAN SIMBANG
Dikatakan simbang ( batas ) sebab,terletak antara kerajaan gowa dan bone.namun menurut A fachri makkasau dlm bukunya berjudul ” kerajaan kerajan di maros dalam lintasan sejarah ” mengatakan bhwa ” simbang berasal dari kata ” sembang ” yg artinya ” menggantungkan di bahu . dikatakan demikian sebab, pada saat karaeng ammallia butta pertama kali datang menbuka daerah ini, beliau menggantungkan regelia/kalompoang yg dibawanya dari gowa di bahunya , sehingga rkyat setempat memberinya gelar karaeng sembang, yg lalu berubah bunyi menjadi ” simbang ”
Kerajaan ini berdiri pada sekitar awal tahn 1700 oleh la pajonjongi petta sanrimana belo karaeng ammallia butta ri marusu yg merupakan bangsawan gowa bone ,putra dari la pareppa tosappewali sultan ismail tumenanga nga ri somba opu
5.KERAJAAN BONTOA
Berdiri pada tahun 1700 oleh I mannyarrang seorang bangsawan dr daerah bangkala putra dari I pasairi dg mangngasi karaeng labbua tali bannangna raja bangkala dari isterinya I daeng takammu karaeng bili’ tangngayya putri dari I monriwagau daeng bonto karaeng lakiung tunipallangga ulaweng raja gowa X ( 1546-1565)
Muh aspar ddalam artikelnya ,berjudul ” riwayat gallarang bontoa ” menulis bahwa , daerah ini sebelumnya merupakan wilayah yg dikusai oleh karaeng marusu,sebagaimana yg diriwayatkan pleh J.A.B. Van De Broor tentang Randji silsilah regent Van bontoa ( 1928 ). yg mana beliau meriwayatkan I mannyarrang sebagai utusan dr raja gowa untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaan gowa.sehingga, karaeng marusu mempersilahkan I mI manyarrang membuka daerah baru yg mnjadi kekuasaan gowa.namun, dalam lontara sejarah karaeng loe ri pakere yg di tulis andi syahban masikki,1889 oleh W cumming reppaading the histoies of naros choronicle tdk menempatkan bontoa sebagai wilayah yg dikuasai marusu.
6.KERAJAAN LAU’
Berdiri pd sekitar tahun 1800 oleh La abdul wahab pagelipue dg mamangung mattinroe ri laleng tedong putra dari La mauraga dg malliungang datu mario ri wawo
,cucu dari WE tenri leleang sultanah aisyah datu tanete
pajung luwu XXVI myangattinroe ri soreang.diperisterikan oleh La malliongang datu limpmattinroe ru sapirie. pajung luwu XXVI mattinroe ri soreang yg diperisterikan oleh I usu***

KERAJAAN SIANG (PANGKEP)


Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a' un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Tallo atau Kerajaan Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004).
Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng (Gadinaro, menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (Pelras, 1985, A Zainal Abidin Farid : 1986 dalam Makkulau, 2007).
Catatan Portugis tentang Kerajaan Siang
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Erofah. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka (Pelras 1973 : 53).
Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan Arkeologi berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) . Ketika kembali tahun 1544, de Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa, Siang dan Gowa (Pelras, 1973 : 41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi begitu”. (Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad 14 – akhir Abad 16.
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV - XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan Limae Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan Kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan SombaOpu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Raja Gowa IX,Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Sumber Lisan dan Tulisan tentang Kerajaan Siang
Abdul Razak Dg Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng atau Nagauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang (asossorangi ma'gauka) sampai tiba masanya Karaengta Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa. (Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2005).
Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar Raja – raja dari negeri besar lain yang melintasi teritori Siang memberi hormat pada “Karaeng Siang”. (M Ali Fadhillah, 2000 : 17).
Sumber Portugis banyak menunjuk periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat, sebagaimana catatan Pelras (1977 : 243) melihat, gelombang kedatangan Portugis ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa dimana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan pusat politik di pesisir barat teritori Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa Siang mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar).(M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Dari kesejajaran konteks sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir selatan, Siang dapat diterangkan pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang dikenal, tetapi bukti-bukti arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal bahwa Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan mungkin langsung dengan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada masa jatuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari daratan Asia Tenggara daratan lainnya. (Makkulau, 2005).
Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah et, al, 2000 dalam Makkulau, 2005).
Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama. Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain membawa perubahan pada pola ekonomi, terutama setelah mengenal teknologi penanaman padi basah (sawah) dan memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai ke pedalaman dengan pembukaan hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi sebagai komoditas utama. (Makkulau, 2005, 2007).
Tome Pires mencatat bahwa satu tahun setelah jatuhnya Kerajaan Malaka (Tahun 1511), Pulau – pulau Macacar (Makassar) merupakan tempat – tempat yang terikat dalam jaringan perdagangan interinsuler. Meskipun Pires menduga bahwa perdagangan Macacar masih kurang penting, tetapi sejak itu, sudah menawarkan rute langsung ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir selatan Kalimantan dan Sulawesi ; sebuah alternatif dari rute tradisional melalui pesisir utara Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu sampai pertengahan Abad XVI, untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu sejak perjalanan Antonio de Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548) ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk utama Macacar. Dan kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah mempunyai kesan khusus akan kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil hutan, beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam Fadhillah,et.al, 2000).
Tonggak sejarah kolonial di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di Siang. Kekalahan Gowa menghadapi aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan dinasti Gowa dan kebangkitan kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung Palakka. I Johoro Pa'rasanya Tubarania naik sebagai penguasa lokal, I Joro juga digelari Lo'moki Ba'le (penguasa dari seberang), karena ia kembali dari seberang laut (Jawa dan Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke negeri sebelah barat nusantara. (Makkulau, 2005, 2007).
Sejarah kekaraengan Lombassang atau Labakkang mulai dikenal sesudah menurunnya pamor politik ekonomi Siang. Penguasa Labakkang turut membantu Gowa menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene. Setelah Gowa kalah dari Kompeni Belanda (1667), Labakkang lepas dari Gowa dan masuk ke dalam kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah administrasi Noorderpprovincien , lalu menjadi Noorderdistrichten dalam kendali administrasi Belanda berpusat di Fort Rotterdam ( Benteng Jumpandang ). Somba Labakkang ketika itu didampingi anggota adat Bujung Tallua , yang berkuasa di unit politik dan teritorial sendiri, yakni di Malise, Mangallekana dan Lombasang, sebelum lebih kompleks lagi dengan bergabungnya Penguasa - penguasa kecil lainnya. (Makkulau, 2005, 2008).
Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri – negeri taklukannya itu adalah menempatkan Bate Ana' Karaeng , biasa disebut bate-bate'a). kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Siang dibawah hegemoni pemerintahan Gowa sekitar 1512 - 1668. (Makkulau, 2005).
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan produk sistem kawin - mawin itu telah menjalin hubungan kekerabatan semakin luas. Siang dan beberapa unit teritori politik seperti Barasa (Pangkajene), Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma'rang dan Segeri juga mengadakan kawin mawin antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi Gowa, Bone dan Soppeng. Demikian pula Ma'rang dan Segeri. Sedang Labakkang dengan Gowa, walaupun pada awalnya Labakkang merupakan keturunan Raja – raja Luwu, Soppeng dan Tanete. Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan masyarakat Pangkep telah menyatukan darah orang Bugis Makassar dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat – istiadat. (Makkulau, 2005, 2007).
Silsilah Keturunan Raja Siang
Silsilah raja – raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai berikut : (1) Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro' (Mappasoro) Matinroe' ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ; (4) Pasempa Dg Paraga ; (5) Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ; (7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene ; (8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince Wangkang dari Malaka ; (10) Sollerang Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa Dg Masalle ; (13) Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg Malliungang ; (15) Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu. (Makkulau, 2005 ; 2007).
Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan hadir Anrong Appaka ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2) Lo'moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau acara ‘Kalompoanga ri Siang' dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate'a ini juga diharapkan hadir Oppoka ri Pacce'lang. (Makkulau, 2005 ; 2007)
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa ( A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari keturunan ‘Tumanurunga ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh Lengan'. Tidak diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta Allu (Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa generasi. (c) Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro'), sahabat Arung Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (di masa kompeni Belanda). (Makkulau, 2005 ; 2007)
Temuan Arkeologi
Hasil penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27). Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang, yang diperkirakan terjadi pada akhir Abad 16.
Kemenangan Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja Gowa menduduki tahta Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri Kammasi yang diganti oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat politiknya kembali ke Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang dengan memakai gelar Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka (empat bangsawan kepala) : Kare Kajuara, Kare Sengkae, Kare Lesang dan Kare Baru-baru . Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan membentuk konfederasi dibawah otoritas Siang baru (periode Islam). Karaengta Allu juga yang menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah pemeliharaan Oppoka ri Paccelang. (Fadhillah, et.al, 2000).
Temuan – temuan fragmen keramik hasil ekskavasi situs Siang di SengkaE, Bori Appaka, Bungoro berupa Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing, Mangkuk Swatow BW, Mangkuk Wangli BW, Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih, Piring Swatow, yang berasal dari Abad 17 - Abad 18. Juga ada fragmen keramik dari Abad 16 seperti Vas Swankalok, Mangkuk Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan Tempayan Vietnam. Jumlah keseluruhan temuan sebanyak 38 fragmen keramik. Keramik Asing Dinasti Ching memberi kronologi relatif lapisan budaya Siang menyampaikan periode relatif berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang sekurang-kurang berasal dari Abad 17 - Abad 18